Saturday, February 23, 2013

passions


perbedaan antara orang yang bekerja karena passions (karena punya visi mulia) dibanding mereka yang bekerja karena ingin mengejar uang dan tanpa punya passions.
Yang bekerja dengan passions biasanya semangat sekali bangun saat subuh untuk doa/sholat, dan kemudian memulai pekerjaannya dengan penuh semangat. Sementara orang yang bekerja hanya demi dibayar tanpa peduli manfaatnya bagi orang lain, ia akan malas bangun pagi, ke kantor maunya selama mungkin dan kalau bisa pulang secepat mungkin. Jelas beda bukan?

Friday, February 22, 2013

Anak Perempuan Bersayap Kupu-kupu




Pertemuan  kami selalu diawali dengan meredupnya lampu kamar, untuk perlahan-lahan padam, lalu ia akan muncul di balik jendela, dengan sepasang sayapnya yang tipis bercahaya, seperti saat itu. Sayapnya berwarna biru, persis warna iris di kedua matanya. Kulitnya putih dan nyaris pucat. Leher dan tangan-tangannya begitu mulus seperti patung-patung yang telah sempurna diciptakan. Aku menatapnya, selalu dengan cemas. Ia menatapku, selalu dengan senyuman, menampakkan serangkaian giginya yang kecil dan rapat, yang kadang tampak runcing seperti gigi kucing.
Ia menembus jendela. Sayap-sayapnya bergerak-gerak. Cahaya biru memenuhi ruang. Ia mendekatiku, menempatkan wajahnya tepat di hadapanku. “Kalau memang kamu membencinya, bunuh saja dia,” katanya. Ia tersenyum. Gusinya merah semerah darah.
Sesuatu kembali pecah. Entah apa. Bapak membentak-bentak Ibu, menyalahkan sikapnya yang tak menurut pada suami. Dan setiap kali Ibu menimpali kata-katanya, akan terdengar sebuah teriakan yang barangkali diikuti tamparan. Ibu mengaduh, menangis. Bapak membentaknya lagi, menyalahkannya lagi, menamparnya lagi, memukulinya lagi. Ibu menangis. Terus menangis. Sedangkan aku, di kamar yang sengaja kukunci, hanya bisa duduk gemetar dengan air mata berlelehan. Dan ketika Bapak mulai menggedor-gedor pintu kamarku, aku semakin mempererat tanganku yang memeluk kedua kakiku. Bapak memanggil-manggil namaku, tapi dengan kasar, sangat kasar. Sesekali terdengar suara Ibu. Aku membayangkan ia sedang berusaha menghentikan Bapak yang hendak mendobrak pintu, tapi gagal. Pintu masih terus digedor-gedor. Suara Bapak semakin tinggi. Kasar. Sangat kasar.
Tiba-tiba, lampu kamar meredup, perlahan-lahan padam, dan sebuah cahaya berwarna biru menggantikannya. Sesosok anak kecil muncul menembus jendela dengan sepasang sayap tipis di punggungnya. Ia terbang di kamar itu, di hadapanku. Saat itu rasanya aku tak mendengar apa-apa selain detak jantungku sendiri. Dan anak perempuan itu, dengan sayap-sayapnya yang biru bercahaya, terbang mendekatiku. Matanya menatapku. Biru. Perlahan-lahan ia turun. Sayap di punggungnya mengepak-ngepak. Saat kedua kaki mungilnya menyentuh lantai, ia berkata, “Jangan takut. Aku bukan malaikat maut.” Aku memang gemetar sata itu. Ketika tangannya yang putih mulus berusaha menyentuhku, aku semakin gemetar. “Jangan takut,” katanya. Tangannya menyentuh pipiku. Hangat. Terasa hangat. Tiba-tiba aku ingin memejamkan mata. Terus memejamkannya. Barangkali malam itu aku tidur terlelap dalam pelukan anak perempuan itu.
Besoknya saat aku terbangun, hari sudang siang. Meski sedikit terhalangi gorden, matahari sudah menyusupkan cahayanya ke kamar. Aku berdiri, melihat-lihat ke sekeliling. Rasanya seperti ada yang hilang, sesuatu yang semalam ada di dekatku. Dengan bingung aku berjalan mendekati pintu, memutar kunci, dan membukanya. Tak ada Bapak di sana. Tak ada Ibu. Tak ada pertengkaran dan keributan seperti semalam. Rumah jadi sepi, benar-benar sepi, seolah-olah tak ada yang menghuni. Bapak pasti membawa Ibu bersamanya. Entah kemana. Dan seperti yang sudah-sudah, Ibu baru akan pulang menjelang petang. Sampai saat itu aku akan sendirian. Tak ada yang menyiapkan sarapan. Tak ada yang memberiku uang jajan. Tak ada alasan untuk pergi ke sekolah hari itu.
Kepulangan Bapak memang selalu diakhiri keributan. Dan selalu saja motif kepulangannya sama: uang. Entah apa yang dipikirkan Bapak, meminta uang kepada Ibu yang hanya membuka warung. Entah apa yang dipikirkan Ibu, menikahi seseorang yang hanya meminta uang kepadanya. Perhiasan Ibu telah satu per satu digadaikan, hingga habis. Bahkan setelah habis pun, ketika Bapak pulang, Ibu masih saja dimintainya uang. “Tabunganku tinggal sedikit,” kata Ibu, tapi tak juga membuat Bapak mengerti. Kabarnya agar Ibu tak kehabisan uang untuk biaya sekolahku, ia sampai membuka rekening baru dan memindahkan sebagian uangnya ke sana. Bapak tentu saja tak tahu hal ini. Kalau saja Bapak tahu, ia mungkin sudah menguras habis semuanya.
Memangnya untuk apa Bapak meminta uang setiap kali pulang? tanyaku suatu hari. “Untuk menyuap malaikat. Biar bisa cepat masuk surga,” jawab Ibu, sambil menyisir dan menata rambutku. Aku tahu Ibu berbohong. Meski ia memaksakan diri tersenyum, aku masih bisa melihat kesedihan di matanya. Bapak tentu tidak sedang menyuap malaikat. Lagipula malaikat mana yang bisa disuap? Malaikat mana yang pernah jadi pejabat?
Alasan sesungguhnya kuketahui dari Rita anaknya Bu Ida, tetangga kami. Di sekolah Rita denganku sekelas. Kami bahkan semeja. Karena itu lah barangkali kami sering bicara tentang banyak hal yang sebenarnya rahasia. Rita bilang padaku, “Bapakmu itu anggota NII. Makanya tiap kali pulang dia minta duit.” NII itu apa? Duit buat apa? Tapi Rita rupanya hanya tahu sebatas itu.
Malam harinya kucoba menanyakannya pada Ibu, tapi Ibu menjawabnya dengan senyuman, lantas menyuruhku tidur. Matanya masih sembab. Mungkin beberapa saat sebelumnya ia baru berhenti menangis.
Saat aku akhirnya sendiri di kamar, dan suara televisi tak lagi terdengar, tiba-tiba lampu meredup, perlahan-lahan padam. Anak perempuan itu muncul, menembus jendela. Cahaya biru memenuhi ruang. Matanya yang biru menatapku tajam. Ia terbang, persis seperti seekor kupu-kupu yang mencari tangkai untuk hinggap. Meski itu bukan pertama kalinya aku melihatnya, aku masih saja gemetar.
“Aku tahu apa itu NII,” katanya tiba-tiba, seolah-olah menjawab pertanyaan yang tak kuutarakan. “Negara Islam Indonesia. Negara di dalam negara. Uang yang dikumpulkan Bapakmu selama ini digunakan untuk membayar utang negara kepada negara. Lucu juga.” Ia tersenyum. Aku tak memahami senyumannya. Aku juga tak memahami apa yang dimaksudnya dengan lucu, juga tentang negara membayar utang kepada negara. Ia tiba-tiba tertawa. “Kamu tidak mengerti rupanya. Mungkin kamu masih terlalu kecil untuk memahaminya.” Aku mulai tak menyukainya. Ia seolah-olah bisa mendengar apa yang kupikirkan. “Memang. Aku bisa mendengarnya.” Yang benar saja?! “Serius.” Menyebalkan! “Hahaha...” dia terus tertawa dan tertawa, sambil terbang berputar-putar. Cahaya biru dari sayapnya kadang menyilaukan.

Barangkali saat itu aku memang masih terlalu kecil untuk memahami apa yang terjadi pada Bapak, juga Ibu. Kabar-kabar miring dari tetangga entah telah berapa kali kudengar, namun belum juga aku paham. Bisa jadi, aku menolak kabar-kabar itu mentah-mentah. Bisa jadi, aku bersikeras tak percaya, meski keadaan sungguh kuat menunjukkan arah ke sana. Bapak masuk NII, entah sejak kapan. Dan Ibu, setelah perhiasannya habis, dipaksa Bapak menghasilkan uang dengan tubuhnya, untuk ia bawa pergi semua uang itu. Nyaris tak ada yang tersisa untuk Ibu. Nyaris tak ada yang tersisa untukku. Selama beberapa bulan setelah Bapak pergi, di rumah kami hanya berdua. Namun tanpa Bapak, sesungguhnya hidup kami lebih tenang, lebih nyaman. Aku bahkan sempat bertanya pada Ibu: apakah Ibu satu-satunya istri Bapak? Alih-alih menjawabnya, Ibu malah menangis. Aku memeluknya. Erat. Aku menyesal telah menanyakan hal itu kepadanya. Saat itu aku menyimpulkan: Bapak punya banyak istri di luar sana. Entah Ibu istrinya yang keberapa.
Menanggapi kegelisahanku, anak perempuan itu malah tertawa sambil terbang berputar-putar menjangkau sudut-sudut kamar. Katanya, “Kalau kamu memang tak ingin melihat Ibumu terus disakiti, suruh saja mereka bercerai.” Aku memikirkan sejenak apa yang dikatakannya. Ia masih saja berputar-putar seperti tak pernah bosan. Sebelum aku mengucapkan sesuatu, ia sudah memotongnya, “Pilih mana, punya Bapak yang bisanya hanya menyakiti dan meminta uang, atau tak punya Bapak?” Tidak kedua-duanya, kataku. Ia kembali tertawa, begitu nyaring. Aku kadang suka khawatir tawanya itu akan terdengar oleh Ibu. “Tidak akan. Hanya kamu yang bisa mendengar suaraku,” katanya. Aku mulai jengah dengan kemampuannya mendengar apa yang kupikirkan. Ia kembali tertawa, dan masih terus berputar-putar. Aku yakin baru saja ia mencuri dengar isi kepalaku. “Suruh saja mereka bercerai,” katanya, melambatkan kepakan sayapnya untuk kemudian turun menyentuh lantai. “Itu lebih baik bagi Ibumu, juga bagimu,” lanjutnya. Kurasa aku sependapat.
Namun ketika kuutarakan hal itu kepada Ibu, ia malah menggeleng. Katanya, “Dalam Islam, lelaki yang memberikan talak. Bukan perempuan.” Apa maksudnya? “Seorang suami bisa menceraikan istrinya, tapi tidak sebaliknya.” Kenapa begitu? “Itu aturan dalam Islam. Aturan yang datangnya dari Allah.” Itu tak adil bagi Ibu. “Jangan berkata begitu, Alea. Allah Maha Adil. Aturan-aturan-Nya sudah sempurna.” Apanya yang sempurna?! Bapak setiap kali pulang hanya menyiksa Ibu dan meminta uang, dan Ibu tak bisa menceraikannya?! Apanya yang sempurna!? Apanya yang adil?! “Sudah.. sudah..” Ibu memelukku. Erat. Bisiknya, “Dalam Islam perempuan memang tak bisa memberikan talak, tapi bisa meminta diberikan talak.” Maksudnya? “Kalau kamu memang mau Ibu bercerai dengan Bapakmu, Ibu bisa meminta diceraikan. Tapi.. apa kamu tak apa-apa dengan itu?” Aku mengangguk. Itu lebih baik bagi kita, kataku. Ibu melepaskan pelukannya. Kedua tangannya lekat di pundakku. Katanya, “Ibu akan memintanya saat Bapakmu pulang nanti.” Aku tersenyum, meski singkat. Membayangkan kepulangan Bapak sama saja dengan membayangkan Ibu kembali disiksa.
Beberapa minggu kemudian Bapak pulang, seperti biasa: meminta uang. Alih-alih memberinya uang, Ibu meminta diceraikan. Bapak tidak senang. Dari balik pintu kamar yang sengaja kubuka sedikit, aku bisa melihat wajah Bapak yang berubah menyeramkan, terutama sepasang matanya. Mata itu, seperti mata pemangsa yang tengah menunggu waktu untuk menerkam. Mata itu, seperti anak panah yang siap kapan saja dilesakkan ke sasaran. Malam itu Ibu menjadi mangsa. Malam itu Ibu menjadi sasaran. Dan bukan hanya sekali ia diterkam. Bukan hanya sekali ia ditancapi
Aku menutup pintu kamar rapat-rapat lantas menguncinya. Terdengar Ibu berteriak. Terdengar Bapak membentak. Aku hanya duduk menunduk, merangkul kuat-kuat kedua kakiku. Sudah terlalu sering aku melihat pemandangan itu. Sudah terlalu sering aku menahan diri di dalam kamar untuk tidak menghambur memeluk Ibu. Ibu menyuruhku tetap di kamar jika Bapak pulang. Ia tak ingin aku kembali dilukai Bapak seperti yang pernah terjadi saat aku masih balita. Di kamar, aku hanya duduk meringkuk, menunduk. Dan mulai lah tanda-tanda kemunculan anak perempuan itu, dengan sayap biru bercahaya yang mengepak-ngepak di punggungnya. Lampu kamar telah padam. Cahaya biru itu memenuhi ruang. Ia menghampiriku, hingga begitu dekat. Hidung kami hanya dipisahkan beberapa mili meter jarak. Ia menghembuskan napas. Aku tiba-tiba merasa nyaman, seolah-olah lupa bahwa di ruang yang lain Bapak sedang menyiksa Ibu.
“Rupanya Bapakmu tak mau menceraikan Ibumu. Mungkin ia tak ingin kehilangan hak untuk menyiksanya,” katanya, tenang. Siapa bilang Bapak berhak menyiksa Ibu?! sergahku. Anak itu tersenyum. Katanya, “Banyak suami merasa berhak menyiksa istrinya, dengan berlindung pada aturan agama. Tentu saja, mereka merasa benar meski sesungguhnya itu salah. Bapakmu termasuk salah satunya.” Aku membencinya. Sangat membencinya. “Kalau begitu bunuh saja dia.” Aku terhenyak, ternanap lama menatapnya. Apa yang baru saja dikatakannya? “Aku bilang bunuh saja dia, kalau kamu memang membencinya.” Dia tersenyum, lalu mulai terbang menjauh ke salah satu sudut kamar. Membunuh itu dilarang, kataku. “Siapa yang melarangmu?” Allah, Tuhanku. Dia tertawa, terus tertawa. Sebelum menembus jendela dan akhirnya lenyap, dia berkata, “Kamu tak tahu apa-apa tentang Tuhanmu itu.”
Di usiaku yang ketigabelas, saat aku memasuki SMP, Ibu memutuskan untuk pergi ke luar negeri, menjadi TKI. Aku tak setuju. Aku mencoba menahannya, tapi gagal. Ibu sudah memutuskan. Dia bilang dia perlu uang yang cukup untuk menjamin pendidikanku tetap berlanjut. Aku bisa bekerja paruh waktu, kataku. Ibu menggeleng. “Kamu harus belajar. Belum waktunya kamu bekerja.” Aku tak peduli. Kalau bisa aku akan bekerja sambil belajar. Tapi Ibu kembali menggeleng. Katanya, “Biar Ibu yang menanggung biaya pendidikanmu. Nanti saja kamu membalasnya setelah kamu dewasa.” Sesuatu terasa dingin di pipiku. Ibu menyentuh dan mengusapnya, membuatku memejamkan mata. Itu adalah terakhir kali aku melihat wajahnya begitu dekat dengan wajahku. Besok paginya Ibu pergi diam-diam. Di rumah sudah ada Tante Ika, teman dekat Ibu yang sebelumnya diberinya mandat untuk menjagaku. Aku menangis pagi itu, mengurung diri di kamar sampai adzan dzuhur terdengar. Aku bolos di hari pertamaku di SMP.
Pada tiap-tiap bulan setelah itu, Tante Ika selalu memberiku sejumlah uang yang katanya diweselkan Ibu. Tidak begitu banyak. Suatu hari aku bahkan curiga Tante Ika mengambil sejumlah besar uang itu untuk disimpannya. Barangkali semacam uang pengganti untuk kesediaannya menampung dan menjagaku. Aku tak mengeluhkannya, tak juga menuntutnya. Aku sadar betul bahwa aku seorang diri saat itu. Seorang diri.
Tiga bulan sekali ada surat dari Ibu, ditulis tangan olehnya. Aku tak pernah langsung membaca surat itu, yang biasanya diberikan Tante Ika setibanya aku di rumah sepulang sekolah. Surat itu kusimpan di kamar, di bawah tumpukan fotokopian di laci paling atas meja belajar. Baru malam hari aku membacanya, ketika Tante Ika, suaminya, dan kedua anaknya sudah terlelap, dan ketika anak perempuan itu muncul menembus jendela menebarkan warna biru dari kedua sayapnya.
Anak itu masih sama seperti saat pertama kali aku melihatnya. Aku tumbuh menjadi remaja. Ia tidak. Ia masih seorang anak dengan tangan dan kaki yang pendek, jari-jari yang mungil, dan kulit yang mulus sempurna. Setiap kali aku membuka kertas berisi tulisan tangan Ibu, ia akan duduk di depanku, meniru posisi kakiku. Matanya yang biru terang menatapku. Sayapnya yang tipis bening itu tak henti-henti mengepak pelan, meski tak membuatnya terbang, dan tak terasa ada angin yang dihempas-hempaskan. Usai aku membaca surat, ia selalu berkata, “Ibumu tak akan kembali.” Dan seperti yang sudah-sudah, aku langsung berusaha memukulnya, dan selalu gagal. Ia terbang menjauh, tersenyum, lalu menembus jendela untuk kemudian lenyap.
Kulipat surat Ibu ke kondisinya semula. Kumasukkan kembali ke dalam amplop. Kusimpan di bawah bantal, dan mulai mencoba tidur. Dalam hati aku berharap bertemu Ibu di alam mimpi.
Namun Ibu tak pernah menjumpaiku di alam mimpi. Ia juga tak pernah lagi mengirimiku surat. Sudah hampir dua tahun Ibu di luar negeri.  Surat terakhir darinya aku terima tujuh bulan lalu. Dalam suratnya itu ia menceritakan majikannya yang baik hati dan selalu membayar gajinya tepat waktu. “Kamu tak perlu khawatir, Alea. Ibu di sini baik-baik saja,” katanya. Tapi aku kira ia berbohong. Dalam lima bulan terakhir Tante Ika tak memberiku uang wesel. Sebab cemas, aku meminta dan menanyakan hal itu padanya. Tapi ia malah membentakku dan mengingatkanku bahwa aku sudah beruntung ditampung olehnya. Aku tak lanjut mendesaknya, sebab aku tahu itu sia-sia. Setiap malam, setiap kali anak perempuan bersayap kupu-kupu itu datang, aku selalu bercerita padanya tentang kerinduan dan kecemasanku. Tanpa perlu mengatakannya keras-keras, anak itu tentu sudah tahu isi kepalaku. Tapi aku tetap mengatakannya keras-keras. Sekedar untuk melepaskan beban.
Kadang kubaca kembali surat-surat Ibu yang telah sampai di tanganku, untuk kemudian menulis surat balasan yang tak pernah kukirim ke mana pun. Di amplop suratnya Ibu tak menuliskan alamat ke mana aku bisa membalas. Itu semakin menguatkan kecemasanku. Sesuatu pasti terjadi pada Ibu, kataku. Sesuatu yang buruk. Anak itu di hadapanku tersenyum. Ia mulai terbang. “Berikan surat balasanmu itu padaku. Biar aku yang mengirimkannya,” katanya. Sungguh? Memangnya bisa? Ia mengangguk. Aku tiba-tiba jadi bersemangat. Kubaca kembali surat balasanku. Kuperbaiki kata-katanya yang tak jelas. Kutulis ulang. Kulipat dengan rapi. Kuberi kecupan. Kumasukkan ke dalam amplop khusus berwarna laut, bergambar laut. Anak itu menerimanya, lalu terbang dan menghilang di langit malam.
Sejak saat itu ia tak pernah muncul lagi. Aku menunggunya, setiap malam. Kadang tanpa kusadari aku memanggilnya. Aku pun sadar, selama ini aku tak pernah menanyakan namanya. Ia pun tak pernah mengenalkan dirinya. Ia tiba-tiba saja hadir, tiba-tiba saja mengajakku bicara ini-itu, menertawakanku, mengolok-olokku, menemaniku, membantuku, lalu pergi. Di malam-malam itu aku baru tahu kalau aku membutuhkannya, meski sekedar untuk menemaniku.
Sebuah berita tentang seseorang dari masa lalu tiba. Bapak mengalami kecelakaan, divonis lumpuh. Nenek dan Kakek, orang tua kandung Bapak, datang untuk membujukku merawatnya. Aku menolak. Aku tak punya urusan lagi dengan lelaki itu, kataku. Tapi Nenek berkata, “Ridho Allah itu tergantung ridho orang tua. Kalau orangtuamu tidak ridho, Allah juga tidak. Kamu nanti tiba bisa masuk surga, Nak.” Kakek membenarkan. Aku geram. Gerak-gerik Tante Ika dan suaminya seolah-olah mendukung kata-kata itu. Kukatakan pada Nenek bahwa aku tak peduli. Lagipula aku tak percaya seseorang seperti Bapak bisa mem-veto keputusan Allah untuk memasukkanku ke surga atau neraka. Bapak bukan Amerika, dan Allah bukan PBB. Mereka diam. Tak ada yang berani melanjutkannya jadi sebuah diskusi.
Aku berdiri, berjalan menuju kamar. “Bapakmu tak punya siapa-siapa,” kata Kakek, membuat langkahku terhenti. “Dia tak punya siapa-siapa. Saudara-saudaranya tak ada yang mau mengurusnya. Bahkan Kakek dan Nenek pun mereka larang mengurus Bapakmu. Tinggal kamu satu-satunya harapan kami, harapannya.” Aku diam, enggan menimpali, tapi juga enggan menyetujui. “Kamu pasti tahu bagaimana rasanya hidup seorang diri,” lanjut Kakek. Ah, hidup seorang diri? Ya, aku tahu. Aku tahu. Aku tahu seperti apa rasanya. Selama hampir dua tahun ini aku sesungguhnya hidup seorang diri. Bahkan setelah anak perempuan itu pergi malam itu, aku benar-benar seorang diri. “Alea, tolong..”
Maka aku pun merawat Bapak yang terbaring lumpuh di rumah sakit. Setiap pagi aku menyuapinya makan. Setiap sore aku mengelap kaki dan tangannya. Setiap malam aku merapikan tempat tidurnya. Bapak benar-benar lumpuh. Ia bahkan tak bisa bicara. Dengan matanya lah ia berusaha mengatakan apa yang mengusiknya. Aku jadi kasihan padanya, tapi juga membencinya. Melihat Bapak aku seperti melihat kembali ia menyiksa Ibu, menggedor-gedor pintu kamarku, memaki-maki kami. Bapak tak pernah meminta maaf. Bahkan jika pun ia meminta maaf, aku tak yakin bisa memaafkannya. Bapak selama ini tak pernah peduli padaku, dan kini aku harus merawatnya dengan kasih sayang? Ah, mana mungkin aku bisa. Yang bisa kulakukan adalah merawatnya dengan kebencian. Bapak sudah terlalu sering menyakitiku. Bapak sudah terlalu sering menyakiti Ibu. Ah, Ibu.. Entah apa yang dilakukannya saat ini. Belum juga ada kabar. Belum juga ada surat balasan. Surat dariku itu pun entah sampai atau tidak di tangannya.
Saat itulah lampu kamar tiba-tiba meredup, perlahan-lahan padam, dan di balik jendela, seberkas cahaya biru tampak. Anak perempuan itu datang, dengan sepasang sayap tipisnya yang biru berkilauan. Ia tersenyum, mendekat, menempatkan wajahnya persis di hadapanku. “Kalau memang kamu membencinya, bunuh saja dia,” katanya, nyaris mendesis seperti ular. Aku masih terlampau terkejut untuk menanggapi kata-katanya. Ia terbang menjauh, menjangkau salah satu sudut kamar, berputar-putar, semakin lama semakin cepat, lalu melambat, melambat, dan akhirnya berhenti.  Ia rapatkan punggungnya ke dinding, tangannya dibentangkan, kakinya diluruskan. Posisinya saat itu persis seperti seseorang yang sedang disalib. Dan kedua sayap birunya yang tak bergerak itu menambah kengerian yang menyerangku. “Bunuh saja dia,” katanya. “Toh kamu memang membencinya. Aku tahu isi hatimu.”
Aku menatap lelaki itu. Apakah aku membencinya? Ya. Sangat. Bahkan sekian lama tak bertemu bukannya membuat kebencian itu berkurang, justru semakin kuat. “Bunuh saja dia. Bekap mulut dan hidungnya dengan bantal.” Anak itu masih tak bergerak, masih menempel di dinding. Matanya yang biru menatapku ngilu. Senyum lebar di wajahnya seperti tenung yang menguasaiku. “Bunuh saja,” katanya, lagi. Dan aku merasa tangan-tanganku bergerak sendiri. Yang satu mengangkat kepalanya. Yang satu mengambil bantal di bawahnya. Lelaki itu menatapku. Matanya penuh kecemasan. “Ayo lakukan,” kata perempuan itu. Dan kata-katanya itu memang seperti mantra pengendali boneka, dan aku adalah boneka yang dikendalikannya. Dan ia memaksaku menyaksikan kematian perlahan-lahan merenggut lelaki itu, lewat tangan-tangannya yang bergetar. Dan ia tiba-tiba bercerita,


“Suatu hari seorang biksu bermimpi menjadi seekor kupu-kupu. Ketika terbangun, ia tak bisa memastikan apakah ia seorang biksu yang bermimpi menjadi kupu-kupu, atau seekor kupu-kupu yang bermimpi menjadi seorang biksu.” Aku menatapnya, dengan benci. “Bisa jadi semua yang kamu alami ini hanya mimpi, Alea.” Ah, ia tahu namaku. Siapa namamu? tanyaku. “Alea,” jawabnya.


Thursday, February 21, 2013

ahem pie siiii

masih tahap percobaan

cilacap
crew myhanz
ani aku  lihat saja dan jangan lupa add ya heheheheheh
nah ini tempat kerjaku heheheh jangan lupa di like ya
mampir lo pas lewat disini
oke sampai ketemu di lain waktu udah ngantuks ne hehehehehe

naskah pidato untuk anak sd


Saturday, February 9, 2013